Generasi
muda sebagai pilar utama dalam keberlangsungan bangsa ini, ternyata mulai
sekarang dipertanyakan keberadaanya. Tidak hanya ketika ide dan pemikiran
tetapi pengantar atau pun bahasa yang dituturkan ikut menjadi bagian terpenting
di dalamnya.
Aspek
yang rasanya juga jelas terlihat ialah aspek bahasa. Gaya bahasa gaul, yang
sebenarnya merupakan bahasa dialek Jakarta turut hadir dalam novel genre ini.
“Loe-gue” yang dihadirkan tidak sekadar membuat “teenlit” begitu terasa dekat
dengan para remaja, tapi justru dunia remaja yang demikian itulah yang
tercermin lewat “teenlit”. Belum lagi cara penyajiannya yang menyerupai
penulisan buku harian, lebih membangkitkan keterlibatan para pembacanya.
Keberadaan bahasa Indonesia di dalamnya tidak terencana, tidak terpola dengan
baik, apa saja bisa masuk. Baik pada percakapan (dialog) maupun pada deskripsi,
bahasa yang dipakai adalah bahasa gaul, bahasa prokem, bahasa slang, yang hanya
dimengerti oleh anak remaja.
Keberagaman bahasa dan warna-warni percakapan
tidak dapat dipola dan hampir tidak terkendali.
Lihatlah
nama acara-acara di stasiun-stasiun televisi, siaran nasional, dan daerah.
Simaklah laporan kalangan wartawan televisi dan radio (mereka pakai istilah
reporter). Perhatikanlah ucapan-ucapan pembawa acara (mereka menyebutnya
presenter) di layar kaca. Dengarlah dengan cermat bahasa mereka yang
sehari-hari tampil di televisi, dalam acara apa pun.
Dengarlah nama-nama acara di stasiun-stasiun radio siaran. Bacalah nama-nama
rubrik di media massa cetak. Perhatikanlah judul buku-buku fiksi dan nonfiksi
yang dijual di toko-toko buku, di pasar buku, atau di kaki lima sekalipun.
Simaklah dosen dan guru (terutama yang masih muda) yang sedang mengajar di
depan kelas. Dengarkanlah petinggi atau pejabat negara yang sedang berpidato
atau berbicara kepada wartawan.
Tiap
saat dengan mudah kita dapat mendengarkan bahasa buruk. Contohnya, gue banget,
thank you banget, ya!, Semakin lama semakin banyak orang yang berbahasa
Indonesia dengan seenaknya, tidak mengindahkan norma atau aturan berbahasa yang
berlaku resmi. Kalau benar isi pepatah lama, “Bahasa menunjukkan bangsa”, maka
untuk mengetahui dan mengurai “wajah” negara dan bangsa kita kini tak usah
mendatangkan ahli dari Amerika Serikat atau Australia.
Mengobati “penyakit” berbahasa yang sudah parah diperlukan usaha bersama semua
pemangku kepentingan bahasa Indonesia
untuk kembali menumbuhkan rasa bangga sebagai bangsa atau orang Indonesia.
Warga negara yang sangat bangga sebagai orang Indonesia tentunya (seharusnya)
juga mencintai bahasa nasionalnya sendiri. Kita, putra-putri Indonesia abad 21,
yang benar-benar mencintai bahasa Indonesia pastilah menjungjung tinggi bahasa
persatuan kita. Untuk mendukung usaha serius ini, pemerintah dan DPR perlu
segera membahas dan mengesahkan Rancangan Undang-undang tentang Kebahasaan yang
dibuat tahun lalu.
Banyak
bangsa lain, seperti Filipina dan India, merasa iri dan sangat terkagum-kagum
terhadap bangsa kita karena memiliki bahasa persatuan, bahasa negara, bahasa
nasional. Ini merupakan salah satu jati diri asli bangsa kita.
Masyarakat
komunikatif tercipta dengan mampu merasakan kepekaan dan kepedulian serta siap
berargumentasi untuk memecahkan permasalahan kompleks yang diidap. Konkretnya
dengan cara itu, dapat mengawal masa-masa sulit ini menuju suatu arah yang
tepat. Bagaimanapun menyiapkan seperangkat infrastruktur yang kapabel menyikapi
setiap kejutan-kejutan arah angin perubahan secara tenang dan penuh perhitungan
dalam konsensus, dapat menyediakan energi yang berlimpah ketika kita amat
membutuhkannya. Mengkedepankan prioritas tidak bermakna mengesampingkan
kebutuhan lainnya.
Barangkali,
sebagai bagian dari bangsa ini. Memang yang lebih diperlukan adalah kemampuan
memelihara memori dan mengambil pelajaran dari apa yang sudah bersama kita
lalui sebagai sebuah bangsa. Sebuah refleksi adalah juga jalan untuk upaya
merawat ingatan; bahwa kemerdekaan ini adalah hasil perjuangan beratus dekade
oleh berjuta pejuang; bahwa otoriterianisme merupakan jalan yang tidak kita
inginkan sebagai bangsa yang bercita-cita dewasa; bahwa represifitas
melumpuhkan demokrasi dan intelektualitas; bahwa kebebasan berpikir dan
bersuara telah dibayar mahal oleh nyawa yang tak ternilai; bahwa korupsi dan
kawan-kawannya telah menghancurkan sendi-sendi keadilan dan meluluhlantakkan
harapan untuk hidup makmur, sejahtera, dan berkeadilan; bahwa wajah pendidikan
menentukan karakter bangsa; bahwa persoalan bangsa ini adalah persoalan yang
harus kita selesaikan secara bersama-sama; bahwa jauh dari tempat kita berada banyak
sosok yang tulus bergerak untuk sesuatu yang memiliki nilai kontribusi tinggi
daripada kita yang hanya berdiam sambil berpura diskusi dan turut berpikir.
Pada
berbagi kegiatan pun diharapkan masyarakat terutama orang muda harus merasa
ikut memiliki lambang jati diri bangsa Indonesia. Rasa ikut memiliki itu akan
mengukuhkan rasa persatuan terhadap satu tanah air, satu negara kesatuan, satu
bangsa, satu bahasa persatuan, satu bendera, satu lambang negara, dan satu lagu
kebangsaan. Pada gilirannya rasa persatuan itu akan menjauhkan perpecahan
bangsa sekalipun berada dalam era reformasi dan globalisasi.
Marilah mulai tumbuhkan kembali kesadaran dalam
diri masing-masing untuk berbahasa Indonesia dengan baik, benar, dan indah.
Ketika berbahasa asing, berbahasa asinglah dengan baik! Ketika berbahasa
daerah, berbahasa daerahlah dengan baik! Ketika berbahasa nasional, berbahasa
nasionallah dengan baik pula!