Sabtu, 26 Januari 2013

Peran generasi muda terhadap bahasa Indonesia


Generasi muda sebagai pilar utama dalam keberlangsungan bangsa ini, ternyata mulai sekarang dipertanyakan keberadaanya. Tidak hanya ketika ide dan pemikiran tetapi pengantar atau pun bahasa yang dituturkan ikut menjadi bagian terpenting di dalamnya.

Aspek yang rasanya juga jelas terlihat ialah aspek bahasa. Gaya bahasa gaul, yang sebenarnya merupakan bahasa dialek Jakarta turut hadir dalam novel genre ini. “Loe-gue” yang dihadirkan tidak sekadar membuat “teenlit” begitu terasa dekat dengan para remaja, tapi justru dunia remaja yang demikian itulah yang tercermin lewat “teenlit”. Belum lagi cara penyajiannya yang menyerupai penulisan buku harian, lebih membangkitkan keterlibatan para pembacanya. Keberadaan bahasa Indonesia di dalamnya tidak terencana, tidak terpola dengan baik, apa saja bisa masuk. Baik pada percakapan (dialog) maupun pada deskripsi, bahasa yang dipakai adalah bahasa gaul, bahasa prokem, bahasa slang, yang hanya dimengerti oleh anak remaja.

Keberagaman bahasa dan warna-warni percakapan tidak dapat dipola dan hampir tidak terkendali.
Lihatlah nama acara-acara di stasiun-stasiun televisi, siaran nasional, dan daerah. Simaklah laporan kalangan wartawan televisi dan radio (mereka pakai istilah reporter). Perhatikanlah ucapan-ucapan pembawa acara (mereka menyebutnya presenter) di layar kaca. Dengarlah dengan cermat bahasa mereka yang sehari-hari tampil di televisi, dalam acara apa pun.

Dengarlah nama-nama acara di stasiun-stasiun radio siaran. Bacalah nama-nama rubrik di media massa cetak. Perhatikanlah judul buku-buku fiksi dan nonfiksi yang dijual di toko-toko buku, di pasar buku, atau di kaki lima sekalipun. Simaklah dosen dan guru (terutama yang masih muda) yang sedang mengajar di depan kelas. Dengarkanlah petinggi atau pejabat negara yang sedang berpidato atau berbicara kepada wartawan.
Tiap saat dengan mudah kita dapat mendengarkan bahasa buruk. Contohnya, gue banget, thank you banget, ya!, Semakin lama semakin banyak orang yang berbahasa Indonesia dengan seenaknya, tidak mengindahkan norma atau aturan berbahasa yang berlaku resmi. Kalau benar isi pepatah lama, “Bahasa menunjukkan bangsa”, maka untuk mengetahui dan mengurai “wajah” negara dan bangsa kita kini tak usah mendatangkan ahli dari Amerika Serikat atau Australia.

Mengobati “penyakit” berbahasa yang sudah parah diperlukan usaha bersama semua pemangku kepentingan bahasa Indonesia untuk kembali menumbuhkan rasa bangga sebagai bangsa atau orang Indonesia. Warga negara yang sangat bangga sebagai orang Indonesia tentunya (seharusnya) juga mencintai bahasa nasionalnya sendiri. Kita, putra-putri Indonesia abad 21, yang benar-benar mencintai bahasa Indonesia pastilah menjungjung tinggi bahasa persatuan kita. Untuk mendukung usaha serius ini, pemerintah dan DPR perlu segera membahas dan mengesahkan Rancangan Undang-undang tentang Kebahasaan yang dibuat tahun lalu.
Banyak bangsa lain, seperti Filipina dan India, merasa iri dan sangat terkagum-kagum terhadap bangsa kita karena memiliki bahasa persatuan, bahasa negara, bahasa nasional. Ini merupakan salah satu jati diri asli bangsa kita.

Masyarakat komunikatif tercipta dengan mampu merasakan kepekaan dan kepedulian serta siap berargumentasi untuk memecahkan permasalahan kompleks yang diidap. Konkretnya dengan cara itu, dapat mengawal masa-masa sulit ini menuju suatu arah yang tepat. Bagaimanapun menyiapkan seperangkat infrastruktur yang kapabel menyikapi setiap kejutan-kejutan arah angin perubahan secara tenang dan penuh perhitungan dalam konsensus, dapat menyediakan energi yang berlimpah ketika kita amat membutuhkannya. Mengkedepankan prioritas tidak bermakna mengesampingkan kebutuhan lainnya.

Barangkali, sebagai bagian dari bangsa ini. Memang yang lebih diperlukan adalah kemampuan memelihara memori dan mengambil pelajaran dari apa yang sudah bersama kita lalui sebagai sebuah bangsa. Sebuah refleksi adalah juga jalan untuk upaya merawat ingatan; bahwa kemerdekaan ini adalah hasil perjuangan beratus dekade oleh berjuta pejuang; bahwa otoriterianisme merupakan jalan yang tidak kita inginkan sebagai bangsa yang bercita-cita dewasa; bahwa represifitas melumpuhkan demokrasi dan intelektualitas; bahwa kebebasan berpikir dan bersuara telah dibayar mahal oleh nyawa yang tak ternilai; bahwa korupsi dan kawan-kawannya telah menghancurkan sendi-sendi keadilan dan meluluhlantakkan harapan untuk hidup makmur, sejahtera, dan berkeadilan; bahwa wajah pendidikan menentukan karakter bangsa; bahwa persoalan bangsa ini adalah persoalan yang harus kita selesaikan secara bersama-sama; bahwa jauh dari tempat kita berada banyak sosok yang tulus bergerak untuk sesuatu yang memiliki nilai kontribusi tinggi daripada kita yang hanya berdiam sambil berpura diskusi dan turut berpikir.

Pada berbagi kegiatan pun diharapkan masyarakat terutama orang muda harus merasa ikut memiliki lambang jati diri bangsa Indonesia. Rasa ikut memiliki itu akan mengukuhkan rasa persatuan terhadap satu tanah air, satu negara kesatuan, satu bangsa, satu bahasa persatuan, satu bendera, satu lambang negara, dan satu lagu kebangsaan. Pada gilirannya rasa persatuan itu akan menjauhkan perpecahan bangsa sekalipun berada dalam era reformasi dan globalisasi.

Marilah mulai tumbuhkan kembali kesadaran dalam diri masing-masing untuk berbahasa Indonesia dengan baik, benar, dan indah. Ketika berbahasa asing, berbahasa asinglah dengan baik! Ketika berbahasa daerah, berbahasa daerahlah dengan baik! Ketika berbahasa nasional, berbahasa nasionallah dengan baik pula!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar